(oleh : Al-Ustadz Abdul Mu’thi, Lc.)
Dalam penjelasan al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah sebelumnya disebutkan bahwa khutbah adalah syarat sahnya Jum’atan karena tidak pernah dinukil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau shalat Jum’at tanpa didahului oleh dua khutbah.
Khutbah Jum’at adalah bagian dari zikir yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wata’ala dalam surat al-Jumu’ah dan Allah Subhanahu wata’ala
memerintah kita untuk bersegera mendatanginya. Khutbah juga momen yang
sangat tepat untuk menjelaskan perkara agama karena saat itu kaum
muslimin berkumpul pada sebuah tempat atau kampung yang tidak seperti
hari-hari biasa.
Membuat Mimbar
Disyariatkan berkhutbah di atas mimbar seperti yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara hikmah berkhutbah di atas mimbar adalah memudahkan makmum untuk melihat khatib dan mendengarkan khutbahnya. (Fathul Bari 2/400)
Waktu Azan Jum’at
Al Imam Al Bukhari rahimahullah meriwayatkan
dari as-Saib bin Yazid bahwa ia berkata, “Adalah azan Jum’at awalnya
apabila imam sudah duduk di atas mimbar di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakr dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Ketika di masa Utsman radhiyallahu ‘anhu -dan manusia telah banyak- Utsman menambahkan azan yang ketiga di Zaura.1” (HR. al-Bukhari no. 912)
Yang dimaksud dengan tiga azan di sini
adalah azan pertama sebelum Utsman keluar untuk khutbah, azan kedua
adalah ketika beliau sudah duduk di atas mimbar, dan azan yang ketiga
adalah iqamah. Jadi, iqamah juga dinamakan azan.
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah
berkata, “Saya menyukai untuk dikumandangkan azan pada hari Jum’at
ketika imam (khatib) telah masuk masjid dan duduk di tempat ia
berkhutbah (mimbar)…. Apabila imam telah melakukan hal itu, muazin
memulai mengumandangkan azan. Apabila telah selesai azan, imam berdiri
menyampaikan khutbahnya, tidak lebih dari itu.”
Asy-Syafi’i lalu menyebutkan hadits
as-Saib bin Yazid di atas kemudian berkata, “Atha’ mengingkari/tidak
menyetujui bahwa yang melakukan azan ketiga itu adalah Utsman. Atha’
mengatakan bahwa yang membuat-buat azan Jum’at tiga itu adalah Mu’awiyah2.”
Lalu asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Namun, siapa pun yang melakukan tiga azan pertama kali, perkara yang ada di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam itu (yakni hanya satu azan dan satu iqamat, -red.) tetap lebih saya sukai.” (al-Umm 1/503-504)
Sifat Khutbah
Setelah selesai azan, khatib berdiri menyampaikan khutbahnya yang diawali dengan pujian kepada Allah Subhanahu wata’ala, shalawat atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengucapkan dua kalimat syahadat seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Asy-Syaukani rahimahullah menerangkan, “Tentang pujian kepada Allah Subhanahu wata’ala, mayoritas ulama berpendapat wajibnya hal itu dalam khutbah. Demikian pula tentang shalawat atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Ahaditsul Jumu’ah hlm. 340)
Adapun syahadatain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
(yang artinya), “Semua khutbah yang tidak ada padanya tasyahud (ucapan
dua kalimat syahadat) maka khutbah itu seperti tangan yang terkena
penyakit lepra.” (Sunan Abu Dawud no. 4841, asy-Syaikh al-Albani
menyatakan sahih dalam Tamamul Minnah hlm. 334)
Seyogianya diketahui, khutbah yang disyariatkan adalah apa yang biasa dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
yaitu mendorong manusia untuk menjalankan perintah agama dan menjauhi
laranganlarangannya. Ini adalah ruh khutbah dan karena itu pula khutbah
disyariatkan.
Jadi, syarat utama dalam khutbah adalah
nasihat yang melembutkan hati dan memberi faedah untuk para hadirin.
Adapun memulai khutbah dengan pujian kepada Allah Subhanahu wata’ala,
shalawat atas Nabi, membaca sesuatu dari al-Qur’an, dan semisalnya, ini
termasuk kesempurnaan khutbah, namun bukan syarat sahnya.
Di antara yang berpendapat seperti ini adalah al-‘Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahullah, sebagaimana disebutkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam al-Ajwibah an-Nafi’ah (hlm. 54) dan asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah sebagaimana disebutkan dalam Hasyiah asy-Syarhul Mumti’ (5/73).
Meskipun bukan syarat sahnya khutbah,
tidak sepantasnya hal itu untuk ditinggalkan -agar terhindar dari
perselisihan pendapat tentang apakah hal tersebut syarat khutbah atau
bukan- karena dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakannya.
Di sini ada sebuah hal yang perlu
diingatkan, yakni sebagian khatib menyebutkan hadits-hadits lemah dan
palsu dalam khutbahnya tanpa menyebutkan derajat haditsnya. Ini adalah
salah satu sebab tersebarnya kebid’ahan di tengah-tengah masyarakat,
disadari atau tidak. Oleh karena itu, hendaknya khatib mencukupkan diri
dengan menyebutkan hadits yang sahih dan kuat.
Demikian pula jika sebagian khatib
memanfaatkan kesempatan khutbahnya untuk berkampanye, mengajak kepada
partai politik tertentu dan memperingatkan umat dari partai politik yang
lain. Perbuatan ini telah mencederai kedudukan khutbah yang sejatinya
adalah zikrullah. Hendaknya para khatib takut kepada Allah Subhanahu wata’ala dan tidak mengkhianati umat.
Bolehkah Berkhutbah dengan Selain Bahasa Arab?
Agar para jamaah mengambil faedah dari
khutbah yang disampaikan, sepantasnya seorang khatib memilih bahasa yang
mudah dipahami. Oleh karena itu, menurut pendapat yang terkuat, boleh
berkhutbah dengan selain bahasa Arab apabila para jamaah tidak mengerti
bahasa Arab.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin berkata, “Dalam masalah ini, yang benar adalah khatib
Jum’at itu tidak boleh berkhutbah dengan bahasa yang tidak dipahami oleh
para hadirin dan selainnya. Jika para hadirin bukan orang Arab,
misalnya, dia berkhutbah dengan bahasa mereka, karena ini adalah sarana
penjelas bagi mereka. Tujuan khutbah adalah menjelaskan batasanbatasan
Allah Subhanahu wata’ala kepada para hamba-Nya serta menasihati
dan membimbing mereka. Adapun ayat-ayat al-Qur’an harus (disebutkan)
dengan bahasa Arab, lalu dijelaskan dengan bahasa hadirin.
Dalil bolehnya berkhutbah dengan selain bahasa Arab adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَمَا اَرْسَلْنَا مِنْ رَسُوْلٍ اِلَّابِلِسَانِ قَوْمِهِ
“Kami tidak mengutus seorang rasul pun selain dengan bahasa kaumnya.” (Ibrahim: 4)
Allah Subhanahu wata’ala
menerangkan (pada ayat di atas), sarana penjelas hanyalah dengan bahasa
yang dipahami oleh orang-orang yang diajak bicara. (Fatawa Arkanil Islam hlm. 393)
Beberapa Adab Khatib
1. Mengucapkan salam kepada makmum ketika naik mimbar.
Hal ini berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa setelah naik mimbar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan salam. (Dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. 917)
2. Duduk setelah menaikinya, sebelum
menyampaikan khutbah sambil mendengarkan azan Jum’at yang dikumandangkan
muazin serta menjawab azannya.
3. Selesai azan, ia berdiri menghadap
makmum dan menyampaikan khutbah dengan menyandarkan tangannya pada
tongkat atau busur panah.
Ini berlandaskan pada hadits al-Hakam bin Hazm al-Kulafi radhiyallahu ‘anhu bahwa ia menyaksikan/mengikuti Jum’atan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau berdiri
(dalam khutbah) bersandarkan pada
tongkat atau busur panah. (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nyadanal-Hafizh
menyatakannya hasan dalam at-Talkish al-Habir 2/65). Dalam masalah ini
memang ada pebedaan pendapat, sebagian ulama memandangnya tidak perlu.
(-red.)
4. Duduk di antara dua khutbah untuk istirahat sejenak lalu berdiri lagi untuk menyampaikan khutbah kedua.
Hal ini seperti penuturan sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah dengan berdiri lalu duduk kemudian berdiri. (Shahih al-Bukhari no. 920)
5. Mengeraskan suara (secara wajar) agar makmum mendengar apa yang diucapkannya.
Dahulu, apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah,
kedua matanya memerah dan suaranya tinggi, seolah-olah beliau adalah
seorang pemberi peringatan kepada pasukan bahwa musuh akan menyerang di
waktu pagi atau sore. (Shahih Muslim, “Kitabul Jumu’ah”)
6. Memendekkan khutbah dan memanjangkan shalat.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ طُوْلَ صَلَاةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ فَأَطِيْلُواالصُّلَاةَ وَاقْصُرُواالْخُطْبَةَ
Sesungguhnya panjangnya shalat dan
pendeknya khutbah seseorang adalah pertanda (mendalam) pemahamannya.
Panjangkanlah shalat dan pendekkanlah khutbah!” (ShahihMuslim no. 869
dari ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhuma)
Hadist ini menunjukkan disyariatkannya
memendekkan waktu (durasi) khutbah. Yang dimaksud adalah khutbah yang
sedang, sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain, yaitu pertengahan,
antara pendek yang tidak mencukupi dan panjang yang berlebihan.
Pendeknya khutbah menandakan keilmuan
khatib yang mendalam, dilihat dari sisi bahwa dia bisa mengungkapkan
sesuatu yang luas dengan kata-kata yang ringkas (padat). Apabila
panjang, tidak sampai memberatkan para makmum atau sampai keluar waktu.(Ahaditsul Jumu’ah hlm. 355)
Namun, jika sesekali khatib memanjangkan khutbah karena kebutuhan, hal ini tidak mengapa.
Di antara faedah memendekkan durasi
khutbah adalah agar materi khutbah mudah diserap dan dipahami serta agar
makmum tidak bosan mendengarkannya.
7. Dimakruhkan bagi khatib mengangkat kedua tangannya saat berdoa karena apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam hanya berisyarat dengan jarinya ketika berdoa saat khutbah.
Hal ini berlandaskan hadits ‘Umarah bin Ruwaibah radhiyallahu ‘anhu bahwa dia melihat Bisyr bin Marwan di atas mimbar mengangkat kedua tangannya. ‘Umarah berkata, “Semoga Allah Subhanahu wata’ala menjelekkan kedua tangannya. Sungguh, aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak lebih dari melakukan seperti ini -beliau berisyarat dengan jari
telunjuknya.” (Shahih Muslim, “Kitabul Jumu’ah”)
Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan bid’ahnya mengangkat kedua tangan saat berdoa di atas mimbar. (Nailul Authar, 3/32)
Lain halnya ketika berdoa saat istisqa’ (meminta hujan), karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu mengangkat kedua tangannya sampai terlihat putih ketiaknya.
8. Berkhutbah sesuai dengan kondisi.
Misalnya, berkhutbah menjelaskan
perkara-perkara yang terkait puasa Ramadhan menjelang masuknya bulan
Ramadhan atau di awal-awal Ramadhan. Hal ini agar manusia menjalankan
ibadah puasa di atas pengetahuan yang mendalam.
Demikian pula berkhutbah dengan bahasa yang jelas dipahami sehingga tidak menimbulkan salah tafsir.
——————————————————————
1. Zaura adalah rumah milik Utsman yang
ada di pasar. Azan di Zaura dikumandangkan sebelum Utsman keluar (untuk
khutbah) agar manusia tahu bahwa waktu Jum’atan telah datang. (Fathul
Bari 2/394)
Azan ini disebut azan ketiga walaupun
pelaksanaannya lebih dahulu, karena azan tersebut belum ada pada zaman
Nabi dan baru ada setelahnya. Wallahu a’lam. (-red.)
2. Pengingkaran Atha’ tidak tepat karena riwayat-riwayat telah menyebutkan bahwa yang melakukannya adalah Utsman radhiyallahu ‘anhu. (Lihat Fathul Bari, 2/394-395)
KEBID’AHAN-KEBID’AHAN DALAM KHUTBAH
Ada beberapa perkara bid’ah yang dilakukan di saat khatib berkhutbah, di antaranya:
1. Sebagian muazin mengeraskan suara dengan menyebutkan hadits,
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ: أَنْصِتْ فَقَدْلَغَوْتَ
“Apabila engkau mengatakan kepada
temanmu,‘Diamlah,’ pada hari Jum’at dalam keadaan imam sedang
berkhutbah, engkau telah melakukan yang sia-sia.”
Ini diucapkannya ketika imam keluar untuk khutbah sampai naik di atas mimbar.
2. Khatib menaiki mimbar dengan perlahan-lahan secara sengaja.
3. Khatib memukulkan tongkat atau semisalnya pada anak tangga mimbar ketika menaikinya.
4. Duduk di bawah mimbar saat berlangsungnya khutbah untuk mencari kesembuhan.
5. Mengkhususkan khutbah kedua untuk shalawat atas Rasul dan doa, serta mengosongkannya dari nasihat dan peringatan.
6. Melagukan khutbah.
7. Khatib selalu mengakhiri khutbah dengan menyebutkan ayat,
إِنّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ
Atau ucapan,
اُذْكُرُوااللهَ يَذْكُرْكُمْ
(Lihat al-Ajwibah an-Nafi’ah karya asy-Syaikh al-Albani)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !