بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Oleh : Penulis: Asy Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan
Hukum menyambut dan merayakan hari Raya non Muslim (Natal/Tahun Baru/Imlek,Dll)
Sesungguhnya di antara konsekwensi terpenting dari sikap membenci
orang-orang kafir ialah menjauhi syi’ar dan ibadah mereka. Sedangkan
syi’ar mereka yang paling besar adalah hari raya mereka, baik yang
berkaitan dengan tempat maupun waktu. Maka orang Islam berkewajiban
menjauhi dan meninggalkannya.
Ada seorang lelaki yang datang
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta fatwa
karena ia telah bernadzar memotong hewan di Buwanah (nama sebuah
tempat), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan kepadanya
(yang artinya) : ” Apakah disana ada berhala, dari berhala-berhala orang
Jahiliyah yang disembah ?” Dia menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya,
“Apakah di sana tempat dilaksanakannya hari raya dari hari raya mereka
?” Dia menjawab, “Tidak”. Maka Nabi bersabda, “Tepatillah nadzarmu,
karena sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam maksiat
terhadap Allah dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam”
[Hadits Riwayat Abu Daud dengan sanad yang sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim]
Hadits diatas menunjukkan, tidak bolehnya menyembelih untuk Allah di
bertepatan dengan tempat yang digunakan menyembelih untuk selain Allah ;
atau di tempat orang-orang kafir merayakan pesta atau hari raya. Sebab
hal itu berarti mengikuti mereka dan menolong mereka di dalam
mengagungkan syi’ar-syi’ar mereka, dan juga karena menyerupai mereka
atau menjadi wasilah yang mengantarkan kepada syirik. Begitu pula ikut
merayakan hari raya (hari besar) mereka mengandung wala’ (loyalitas)
kepada mereka dan mendukung mereka dalam menghidupkan syi’ar-syi’ar
mereka.
Di antara yang dilarang adalah menampakkan rasa gembira
pada hari raya mereka, meliburkan pekerjaan (sekolah), memasak
makanan-makanan sehubungan dengan hari raya mereka (kini kebanyakan
berpesiar, berlibur ke tempat wisata, konser, acara musik, diakhiri
mabuk-mabukan atau perzinaan, red).
Dan diantaranya lagi ialah
mempergunakan kalender Masehi, karena hal itu menghidupkan kenangan
terhadap hari raya Natal bagi mereka. Karena itu para shahabat
menggunakan kalender Hijriyah sebagai gantinya.
Syaikhul Islam Ibnu Timiyah berkata, “Ikut merayakan hari-hari besar mereka tidak diperbolehkan karena dua alasan”.
Pertama. Bersifat umum, seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa
hal tersebut berarti mengikuti ahli Kitab, yang tidak ada dalam ajaran
kita dan tidak ada dalam kebiaasaan Salaf. Mengikutinya berarti
mengandung kerusakan dan meninggalkannya terdapat maslahat menyelisihi
mereka. Bahkan seandainya kesamaan yang kita lakukan merupakan sesuatu
ketetapan semata, bukan karena
mengambilnya dari mereka, tentu yang
disyari’atkan adalah menyelisihiya karena dengan menyelisihinya terdapat
maslahat seperti yang telah diisyaratkan di atas. Maka barangsiapa
mengikuti mereka, dia telah kehilangan maslahat ini sekali pun tidak
melakukan mafsadah (kerusakan) apapun, terlebih lagi kalau dia
melakukannya.
Alasan Kedua.
Karena hal itu adalah bid’ah
yang diada adakan. Alasan ini jelas menunjukkan bahwa sangat dibenci
hukumnya menyerupai mereka dalam hal itu”.
Beliau juga
mengatakan, “Tidak halal bagi kaum muslimin ber-Tasyabuh (menyerupai)
mereka dalam hal-hal yang khusus bagi hari raya mereka ; seperti,
makanan, pakaian, mandi, menyalakan lilin, meliburkan kebiasaan seperti
bekerja dan beribadah ataupun yang lainnya. Tidak halal mengadakan
kenduri atau memberi hadiah atau menjual barang-barang yang diperlukan
untuk hari raya tersebut. Tidak halal mengizinkan anak-anak ataupun yang
lainnya melakukan permainan pada hari itu, juga tidak boleh menampakkan
perhiasan.
Ringkasnya, tidak boleh melakukan sesuatu yang
menjadi ciri khas dari syi’ar mereka pada hari itu. (Dalam Iqtidha
Shirathal Mustaqim, pentahqiq Dr Nashir Al-’Aql 1/425-426).
Hari raya mereka bagi umat Islam haruslah seperti hari-hari biasanya,
tidak ada hal istimewa atau khusus yang dilakukan umat Islam. Adapun
jika dilakukan hal-hal tersebut oleh umat Islam dengan sengaja [1] maka
berbagai golongan dari kaum salaf dan khalaf menganggapnya makruh.
Sedangkan pengkhususan seperti yang tersebut di atas maka tidak ada
perbedaan di antara ulama, bahkan sebagian ulama menganggap kafir orang
yang melakukan hal tersebut, karena dia telah mengagungkan syi’ar-syi’ar
kekufuran.
Segolongan ulama mengatakan. “Siapa yang
menyembelih kambing pada hari raya mereka (demi merayakannya), maka
seolah-olah dia menyembelih babi”. Abdullah bin Amr bin Ash berkata,
“Siapa yang mengikuti negera-negara ‘ajam (non Islam) dan melakukan
perayaan Nairuz [2] dan Mihrajan [3] serta menyerupai mereka sampai ia
meninggal dunia dan dia belum bertobat, maka dia akan dikumpulkan
bersama mereka pada Hari Kiamat.
Footnote :
[1] Mungkin yang dimaksud (yang benar) adalah ‘tanpa sengaja’.
[2] Nairuz atau Nauruz (bahasa Persia) hari baru, pesta tahun baru Iran yang
bertepatan dengan tanggal 21 Maret -pent.
[3] Mihrajan, gabungan dari kata mihr (matahari) dan jan (kehidupan atau
ruh), yaitu perayaan pada pertengahan musim gugur, di mana udara tidak panas
dan tidak dingin. Atau juga merupakan istilah bagi pesta yang diadakan untuk
hari bahagia -pent.
(Dinukil dari tulisan Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan,
dalam kitab At-Tauhid Lish-Shaffil Awwal Al-Aliy[Edisi Indonesia, Kitab
Tauhid 1])
Bagaimana semestinya sikap Muslim yang tepat menyikapi hari raya Natal/Tahun Baru/Non Muslim lainnya ?
Berikut nasihat dari Komisi Tetap Saudi Arabia
“Sesungguhnya nikmat terbesar yang diberikan oleh Allah Subhannahu wa
Ta’ala kepada hamba-Nya adalah nikmat Islam dan iman serta istiqomah di
atas jalan yang lurus. Allah Subhannahu wa Ta’ala telah memberitahukan
bahwa yang dimaksud jalan yang lurus adalah jalan yang ditempuh oleh
hamba-hamba-Nya yang telah diberi nikmat dari kalangan para nabi,
shiddiqin, syuhadaa dan sholihin (Qs. An Nisaa :69).
Jika
diperhatikan dengan teliti, maka kita dapati bahwa musuh-musuh Islam
sangat gigih berusaha mema-damkan cahaya Islam, menjauhkan dan
menyimpangkan ummat Islam dari jalan yang lurus, sehingga tidak lagi
istiqomah.Hal ini diberitahukan sendiri oleh Allah Ta’ala di dalam
firman-Nya, diantaranya, yang artinya: “Sebagian besar Ahli Kitab
menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran
setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka
sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma’afkanlah dan
biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya.
Sesung-guh-Nya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. 2:109)
Firman Allah Subhannahu wa Ta’ala yang lain, artinya: Katakanlah: “Hai
Ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang
yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi beng-kok, padahal kamu
menyaksikan”. Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.
(QS. 3:99)
Firman ALLAH (yang artinya) : ” Hai orang-orang
yang beriman, jika kamu menta’ati orang-orang yang kafir itu, niscaya
mereka mengembalikan kamu kebelakang (kepada kekafiran), lalu jadilah
kamu orang-orang yang rugi”. (QS. 3:149)
Salah satu cara mereka
untuk menjauhkan umat Islam dari agama (jalan yang lurus)yakni dengan
menyeru dan mempublikasikan hari-hari besar mereka ke seluruh lapisan
masyara-kat serta dibuat kesan seolah-oleh hal itu merupakan hari besar
yang sifatnya umum dan bisa diperingati oleh siapa saja. Oleh karena
itu, Komisi Tetap Urusan Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Kerajaan Arab
Saudi telah memberikan fatwa berkenaan dengan sikap yang seharusnya
dipegang oleh setiap muslim terhadap hari-hari besar orang kafir.Secara
garis besar fatwa yang dimaksud adalah:
Sesungguhnya kaum
Yahudi dan Nashara menghubungkan hari-hari besar mereka dengan
peristiwa-peritiwa yang terjadi dan menjadikannya sebagai harapan baru
yang dapat memberikan keselamatan, dan ini sangat tampak di dalam
perayaan milenium baru (tahun 2000 lalu), dan sebagian besar orang
sangat sibuk memperangatinya, tak terkecuali sebagian saudara kita -kaum
muslimin- yang terjebak di dalamnya. Padahal setiap muslim seharusnya
menjauhi hari besar mereka dan tak perlu menghiraukannya.
Perayaan yang mereka adakan tidak lain adalah kebatilan semata yang
dikemas sedemikian rupa, sehingga kelihatan menarik. Di dalamnya
berisikan pesan ajakan kepada kekufuran, kesesatan dan kemungkaran
secara syar’i seperti: Seruan ke arah persatuan agama dan persamaan
antara Islam dengan agama lain. Juga tak dapat dihindari adanya
simbul-simbul keagamaan mereka, baik berupa benda, ucapan ataupun
perbuatan yang tujuannya bisa jadi untuk menampakkan syiar dan syariat
Yahudi atau Nasrani yang telah terhapus dengan datangnya Islam atau
kalau tidak agar orang menganggap baik terhadap syariat mereka, sehingga
biasnya menyeret kepada kekufuran. Ini merupakan salah satu cara dan
siasat untuk menjauhkan umat Islam dari tuntunan agamanya, sehingga
akhirnya merasa asing dengan agamanya sendiri.
Telah jelas
sekali dalil-dalil dari Al Quran, Sunnah dan atsar yang shahih tentang
larangan meniru sikap dan perilaku orang kafir yang jelas-jelas itu
merupakan ciri khas dan kekhususan dari agama mereka, termasuk di dalam
hal ini adalah Ied atau hari besar mereka.Ied di sini mencakup segala
sesuatu baik hari atau tempat yang diagung-agungkan secara rutin oleh
orang kafir, tempat di situ mereka berkumpul untuk mengadakan acara
keagamaan, termasuk juga di dalam hal ini adalah amalan-amalan yang
mereka lakukan. Keseluruhan waktu dan tempat yang diagungkan oleh orang
kafir yang tidak ada tuntunannya di dalam Islam, maka haram bagi setiap
muslim untuk ikut mengagungkannya.
Larangan untuk meniru dan
memeriahkan hari besar orang kafir selain karena adanya dalil yang jelas
juga dikarenakan akan memberi dampak negatif, antara lain:
Orang-orang kafir itu akan merasa senang dan lega dikarenakan sikap mendukung umat Islam atas kebatilan yang mereka lakukan.
Dukungan dan peran serta secara lahir akan membawa pengaruh ke dalam
batin yakni akan merusak akidah yang bersangkutan secara bertahap tanpa
terasa.
Yang paling berbahaya ialah sikap mendukung dan ikut-ikutan
terhadap hari raya mereka akan menumbuhkan rasa cinta dan ikatan batin
terhadap orang kafir yang bisa menghapuskan keimanan.Ini sebagaimana
yang difirmankan Allah Ta’ala, (yang artinya) : “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka
menjadi pemimpin, maka sesungguhnya o-rang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
zalim”. (QS. 5:51)
Dari uraian di atas, maka tidak
diperbolehkan bagi setiap muslim yang mengakui Allah sebagai Rabb, Islam
sebagai agama dan Muhammad sebagai nabi dan rasul, untuk ikut merayakan
hari besar yang tidak ada asalnya di dalam Islam, tidak boleh
menghadiri, bergabung dan membantu terselenggaranya acara
tersebut.Karena hal ini termasuk dosa dan melanggar batasan Allah.Dia
telah melarang kita untuk tolong-menolong di dalam dosa dan pelanggaran,
sebagaimana firman Allah, (yang artinya) : “Dan tolong-menolonglah kamu
di dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. 5:2)
Tidak
diperbolehkan kaum muslimin memberikan respon di dalam bentuk apapun
yang intinya ada unsur dukungan, membantu atau memeriahkan perayaan
orang kafir, seperti : iklan dan himbauan; menulis ucapan pada jam
dinding atau fandel; menyablon/membuat baju bertuliskan perayaan yang
dimaksud; membuat cinderamata dan kenang-kenangan; membuat dan
mengirimkan kartu ucapan selamat; membuat buku tulis;memberi
keistimewaan seperti hadiah /diskon khusus di dalam perdagangan,
ataupun(yang banyak terjadi) yaitu mengadakan lomba olah raga di dalam
rangka memperingati hari raya mereka. Kesemua ini termasuk di dalam
rangka membantu syiar mereka.
Kaum muslimin tidak diperbolehkan
beranggapan bahwa hari raya orang kafir seperti tahun baru (masehi),
atau milenium baru sebagai waktu penuh berkah(hari baik) yang tepat
untuk memulai babak baru di dalam langkah hidup dan bekerja, di
antaranya adalah seperti melakukan akad nikah,memulai bisnis, pembukaan
proyek-proyek baru dan lain-lain. Keyakinan seperti ini adalah batil dan
hari tersebut sama sekali tidak memiliki kelebihan dan ke-istimewaan di
atas hari-hari yang lain.
Dilarang bagi umat Islam untuk
mengucapkan selamat atas hari raya orang kafir, karena ini menunjukkan
sikap rela terhadapnya di samping memberikan rasa gembira di hati
mereka.Berkaitan dengan ini Ibnul Qayim rahimahullah pernah berkata,
“Mengucapkan selamat terhadap syiar dan simbol khusus orang kafir sudah
disepakati kaha-ramannya seperti memberi ucapan selamat atas hari raya
mereka, puasa mereka dengan mengucapkan, “Selamat hari raya (dan yang
semisalnya), meskipun pengucapnya tidak terjeru-mus ke dalam kekufuran,
namun ia telah melakukan keharaman yang besar, karena sama saja
kedudukannya dengan mengucapkan selamat atas sujudnya mereka kepada
salib. Bahkan di hadapan Allah, hal ini lebih besar dosanya daripada
orang yang memberi ucapan selamat kapada peminum khamar, pembunuh,
pezina dan sebagainya. Dan banyak sekali orang Islam yang tidak memahami
ajaran agamanya, akhirnya terjerumus ke dalam hal ini, ia tidak
menyadari betapa besar keburukan yang telah ia lakukan. Dengan demikian,
barang siapa memberi ucapan selamat atas kemaksiatan, kebid’ahan dan
lebih-lebih kekufuran, maka ia akan berhadapan dengan murka Allah”.
Demikian ucapan beliau rahimahullah!
Setiap muslim harus merasa
bangga dan mulia dengan hari rayanya sendiri termasuk di dalam hal ini
adalah kalender dan penanggalan hijriyah yang telah disepakati oleh para
shahabat Radhiallaahu anhu, sebisa mungkin kita pertahan kan
penggunaannya, walau mungkin lingkungan belum mendukung. Kaum muslimin
sepeninggal shahabat hingga sekarang (sudah 14 abad), selalu
menggunakannya dan setiap pergantian tahun baru hijriyah ini, tidak
perlu dengan mangadakan perayaan-perayaan tertentu.
Demikianlah
sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap mukmin, hendaknya ia selalu
menasehati dirinya sendiri dan berusaha sekuat tenaga menyelamatkan diri
dari apa-apa yang menyebabkan kemurkaan Allah dan laknatNya. Hendaknya
ia mengambil petunjuk hanya dari Allah dan menjadikan Dia sebagai
penolong.
(Dinukil dari Fatwa Komisi Tetap untuk Penelitian
Ilmiyah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi tentang Perayaan Milenium Baru
tahun 2000.
Tertanda
Ketua: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh
Anggota: Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman Al-Ghadyan, Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Syakh Shalih bin Fauzan Al Fauzan)
(Dikutip dari terjemah Kitab At-Tauhid Lish-Shaffil Awwal Al-Aliy, Edisi Indonesia, Kitab Tauhid, Penulis Dr Shalih bin Fauzan)
dari berbagai Sumber
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !